
Keterangan Gambar : Raden Siska Marini, founder Ruang Aman
Tujuh belas Agustus selalu dirayakan dengan bendera di langit, lomba di jalanan, dan pidato di panggung-panggung kecil. Namun, di balik gegap gempita itu, ada pertanyaan yang tidak boleh kita lupakan: apakah Indonesia sudah benar-benar merdeka untuk semua? Ataukah kemerdekaan kita masih pincang, karena separuh penduduk bangsa masih sering diperlakukan tidak setara?
Kesetaraan di negeri ini kerap dipelintir. Ungkapan “kalau setara, perempuan juga harus bisa angkat galon” menjadi candaan yang seolah remeh, tapi menyimpan bias yang merendahkan. Kesetaraan bukanlah seragam kemampuan fisik. Laki-laki dan perempuan memang berbeda secara biologis—laki-laki umumnya memiliki massa otot lebih besar, perempuan punya daya tahan dan kekuatan reproduksi yang unik. Namun, perbedaan fisik tidak pernah boleh dijadikan alasan untuk membatasi hak, kesempatan, atau martabat.
Agama memberi pijakan yang jelas. Islam menegaskan dalam QS. Al-Hujurat: 13 bahwa kemuliaan manusia ditentukan oleh ketakwaan, bukan jenis kelamin. Nabi Muhammad SAW menjadikan Khadijah RA, seorang saudagar sukses, sebagai partner dakwah; Aisyah RA menjadi sumber ilmu dan fatwa. Perempuan dalam sejarah Islam bukanlah bayangan, tetapi aktor utama.
Dunia Barat pun berbicara hal serupa. Simone de Beauvoir menulis tentang bagaimana perempuan didefinisikan sebagai “the other,” bukan subjek penuh. John Rawls menegaskan keadilan harus menjamin kesempatan setara bagi semua, tanpa hambatan struktural. Keduanya sejalan dengan amanat Proklamasi 1945: bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa.
Namun data masih menunjukkan jurang. Indeks Pembangunan Gender (IPG) Indonesia tahun 2024 hanya mencapai 92,38, masih menyisakan ketimpangan. Komnas Perempuan mencatat lebih dari 4.000 kasus kekerasan berbasis gender sepanjang 2025. Angka ini mengingatkan kita bahwa kemerdekaan belum sepenuhnya dirasakan perempuan Indonesia.
Sejarah bangsa ini sebenarnya sudah memberi teladan. Cut Nyak Dien memimpin perang, Martha Christina Tiahahu maju ke medan tempur, Dewi Sartika mendirikan sekolah, Kartini menulis gagasan besar tentang pendidikan. Mereka bukan hanya simbol, tetapi bukti bahwa perempuan mampu berada di garis depan perjuangan. Jika di masa penjajahan mereka berani mengambil peran, maka di masa merdeka seharusnya kesempatan yang ada hari ini dimanfaatkan lebih berani lagi.
Di sinilah peran ganda kesetaraan: laki-laki dan perempuan sama-sama dituntut untuk bertindak. Laki-laki perlu berani membuka ruang, menghapus budaya seksis, dan mengakui bahwa keadilan gender bukan ancaman, melainkan syarat kemajuan bangsa. Sementara perempuan yang hari ini sudah lebih banyak memiliki akses pendidikan, ekonomi, dan politik harus berani mengambil kesempatan, berani bicara, berani memimpin. Kesetaraan tidak akan pernah lahir hanya dari wacana; ia butuh keberanian nyata dari dua sisi.
Merdeka berarti setara. Bukan seragam, bukan saling merendahkan. Laki-laki dan perempuan dipanggil untuk bekerja sama, bukan saling menyingkirkan. Kemerdekaan kita akan selalu timpang bila hanya dirayakan dengan bendera dan pesta, tetapi tidak diikuti keberanian laki-laki untuk memberi ruang dan keberanian perempuan untuk menggunakannya.
Karena itu, pada setiap kibaran Merah Putih, kita harus mengingat satu janji: bangsa ini tidak akan pernah benar-benar merdeka bila masih ada diskriminasi yang dibiarkan hidup. Kesetaraan adalah tugas bersama—dan kini saatnya kita berani menunaikannya.
LEAVE A REPLY